JAKARTA, 29 JULI 2021 – Walau, pemerintah Indonesia telah melakukan banyak hal dalam pembangunan nasional, terutama untuk membentuk generasi milenial yang sehat dan berdaya saing, namun hak anak untuk mendapatkan kesehatan masih belum diperhatikan baik.
Ini terungkap, usai sekelompok ahli, dan pemerhati hak anak melalui konsensus survei yang dilakukan Health Collaborative Center (HCC), menunjukan bahwa hak kesehatan anak Indonesia masih belum terpenuhi. Dimana, dalam survei yang dilakukan dalam periode Juni – Juli 2021, dengan dua metode yaitu studi literature dan validasi eskpert melalui konsensus ahli secara daring selama 2 bulan ini menghasilkan kesimpulan dimana terdapat 5 hak kesehatan anak Indonesia yang hingga kini belum juga terpenuhi oleh negara.

Lima hak kesehatan anak Indonesia yang belum terpenuhi oleh negara, pertama hak untuk terbebas dari masalah gizi buruk/gizi kurang, gizi lebih, kedua hak untuk mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan secara umum dan layanan kesehatan mental pada anak belum terpenuhi secara optimal. Ketiga, hak pengasuhan dari orang tua dan komunitas yang belum terlindungi. Keempat adalah hak terhadap akses pendidikan, terutama pendidikan kesehatan di lembaga pendidikan (sekolah) yang belum focus, yang terakhir adalah hak untuk dilahirkan dengan selamat dan hidup dengan kualitas hidup sehat yang baik (mengingat angka kematian pada neonatal, bayi, balita masih sangat tinggi).
Founder dan Chairman HCC Dr dr Ray Wagiu Basrowi, MKK, yang menjadi peneliti utama dari studi konsensus menyatakan bahwa, kelima hak kesehatan anak yang belum terpenuhi diperoleh dari suatu penelitian dalam bentuk rangkaian kajian berbasis konsensus ahli dan studi literatur. Melibatkan Bunga Pelangi, MKM selaku Researcher Associate HCC, 36 akademisi, pemerhati/praktisi, pemangku kepentingan, dan pelaku program perlindungan hak anak dan kesehatan anak Indonesia dari 13 provinsi di Indonesia.
Menurut Dr. Ray, studi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan besar terkait apakah setelah 75 tahun merdeka, hak anak Indonesia sudah terlindungi dan dipenuhi oleh negara atau belum. Dari analisis konsesus ahli secara daring serta kajian literature dengan deskripsi makro, lima hak anak Indonesia yang belum terpenuhi ini adalah hak mendasar yang sebenarnya merupakan masalah klasik yang sudah dialami bangsa ini sejak puluhan tahun silam. Artinya ada poin-poin prinsip yang menurut konsensus ahli belum sesuai dengan komitmen bangsa Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak.
Dr Ray menjelaskan, hasil konsensus ahli merekomendasi 7 intervensi yaitu percepatan dan pengembangan integrasi program kesehatan anak dengan berbagai lintas sektor, kedua mempererat komitmen pemangku kepentingan dalam penyelesaian persoalan kesehatan pada anak, ketiga adalah pengembangan intervensi edukasi untuk masyarakat dan sasaran utama program kesehatan anak. Keempat adalah mempercepat pembangunan infrastruktur untuk ketersediaan dan akses layanan kesehatan anak. Kelima, mendorong inisiasi, pembuatan dan implementasi kebijakan berbasis bukti untuk mengatasi persoalan kesehatan anak, keenam adalah memperkuat desentralisasi program kesehatan anak sesuai dengan kebutuhan lokal, dan yang terakhir penyediaan/pengembangan fasilitas kesehatan ramah dan inklusif terhadap anak dengan disabilitas.
“Tujuh rekomendasi ini sangat dinamis namun esensial mengingat beberapa poin yang datang dari rekomendasi ahli adalah aspek yang selama ini belum jadi fokus prioritas, seperti kesehatan mental dan hak inklusivitas anak dengan disabilitas. Aspek penangan risiko anak Indonesia selama pandemi juga menjadi salah satu poin rekomendasi dalam pengembangan integrasi program kesehatan anak,” ungkap Dr Ray.
Menanggapi kondisi pandemi Covid-19, Ahli dan praktisi berpendapat bahwa hal tersebut dapat memperberat persoalan kesehatan anak. Secara spesifik, terdapat 3 dampak utama yakni kesehatan, psikologis dan tumbuh kembang anak. “Para ahli dan praktisi juga menyatakan bahwa dapat dimungkinkan terjadi “Missing Generation” untuk anak-anak yang lahir dan berkembang di masa pandemi,” tegas Dr Ray.
Sementara itu, Ketua Forum Anak Nasional 2019 – 2021, Tristania Faisa Adam serta salah seorang pakar yang terlibat dalam penelitian konsensus ahli Hak Kesehatan Anak mengungkapkan, populasi anak menjadi salah satu komponen masyarakat yang perlu mendapat perhatian ekstra, dan prioritas karena anak adalah kelompok rentan yang sangat bergantung dari kebijakan dan perlindungan negara. “Konsensus ahli dan rekomendasi dari penelitian ini, sangat relevan dan dapat menjadi bagian dari kebijakan publik pemerintah untuk memaksimalkan perlindungan hak anak Indonesia. Jadi, jangan hanya melihat hasil penelitian ini sebagai rekomendasi diatas kertas saja, tapi keterlibatan 36 pakar dari 13 provinsi ini memiliki validitas kuat untuk didengarkan seluruh pihak terutama pemerintah,” jelasnya.
Tercatat terdapat 36 Ahli dan Praktisi Kesehatan Anak yang terlibat dalam penelitian ini dan berasal dari 13 Provinsi di Indonesia, di antaranya adalah Aceh, Sumatra Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Tengah, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan ragam profesi, Ahli dan Praktisi tersebut terdiri dari dokter spesialis anak, dokter umum, ahli gizi klinis, perawat, farmasis, psikolog klinis, konselor, promotor kesehatan, dosen, peneliti, konsultan, guru serta aktivis pergerakan dari organisasi masyarakat sipil kesehatan anak, gender dan berbasis keagamaan.
Health Collaborative Center (HCC) meyakini bahwa Konsensus Ahli dan Praktisi Kesehatan Anak dalam meninjau pemenuhan hak kesehatan anak dapat menjadi diskursus bersama lintas sektor untuk saling berkolaborasi dan mengoptimalkan kembali daya dan upaya untuk memenuhi hak-hak kesehatan anak. Tidak hanya itu, paket rekomendasi intervensi dari konsensus ini juga dapat menjadi acuan advokasi bagi berbagai pemangku kepentingan untuk memperkuat kolaborasi.