TAHUNA, 18 JUNI 2021 — Bupati Jabes Ezar Gaghana, secara pribadi telah lama menolak kehadiran ragam tambang yang masuk ke Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Malah, sebelum menjadi orang nomor satu Sangihe, Jabes kerap menentang adanya eksplorasi kegiatan yang mengambil hasil tanah yang berpotensi merusak hingga puluhan tahun. Namun, karena sebagai pejabat negara, dirinya harus menghormati keputusan pemimpin tertinggi, termasuk tentang kehadiran Tambang Mas Sangihe (TMS).
Sikap penolakan ini diperlihatkan sejak awal tahun 2018, dengan adanya rekomendasi BKPRD yang menegaskan tidak dapat memenuhi permohonan TMS, karena tidak sesuai dengan ketentuan, diantaranya ketentuan perundang-undangan yang berlaku, khususnya UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,” ungkap Sekda Melanchton Harry Wolff, lewat rilis media yang disebarkan Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokopi) Setda Kantor Bupati Sangihe.
Juga ditegaskanya, kewenangan dalam hal ijin pengelolaan tambang, pada prinsipnya ada pada Pemerintah Pusat, dan wilayah Sangihe dalam kesatuan negara, otomatis masuk juga ke dalam batas-batas kewenangan tersebut, sehingga bupati dalam mengambil sikap harus menyeimbangkan antara Pimpinan Pemerintahan dan keterwakilan sebagai warga Sangihe.
“Penolakan secara pribadi itu masuk dalam wilayah kapasitas dari pak Bupati selaku orang yang dituakan di Kepulauan Sangihe, namun dari prinsip bernegara karena negara ini diatur secara utuh, sehingga pemerintah daerah harus tetap mengawal keputusan dari Pemerintah Pusat terkait dengan wilayah pertambangan sesuai batas-batas kewenangannya,” jelasnya.
Lanjut dikatakan, sikap penolakkan sejak ijin belum keluar, juga dalam kapasitas untuk melakukan pengawalan terkait dengan lingkungan hidup, sehingga dengan keberpihakan dalam hal menjaga kelestarian dan kesinambungan lingkungan hidup di Sangihe, maka pemerintah daerah meminta adanya pertimbangan kembali pusat terkait dengan ijin TMS di Kabupaten Kepulauan Sangihe, melalui surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI nomor 660.3/24/2345 Tanggal 22 September 2020, Perihal Peninjauan Kembali Prosedur Penyusunan dan Penilaian Dokumen AMDAL PT. Tambang Mas Sangihe.
“Jadi sikap menolak selaku Pemerintah Daerah sudah dilakukan dari awal ketika ijin itu berproses bukan ketika ijin operasi keluar baru menolak. Tetapi ketika persetujuan ijin ini keluar dari Pemerintah Pusat, walaupun itu tidak direkomendasikan oleh Pemerintah Kabupaten, ya mau tidak mau Pemerintah Daerah harus tunduk kepada Pemerintah Pusat, Karena hal Itu diatur oleh Undang-undang, dan disitulah letak persoalannya,” sebut Melanchaton.
“Perlu juga ditegaskan, bupati bukan orang yang tidak konsisten dengan keberpihakan kepada masyarakat atau kepada keputusan Pemerintah Pusat, akan tetapi pak Bupati harus memilah antara kewajiban selaku masyarakat Sangihe dan kewajiban selaku penyelenggara pemerintah di daerah untuk kesinambungan penyelenggaraan Pemerintahan,” tegasnya lagi.
Juga dijelaskan, pada prinsipnya pimpinan daerah yang memahami penyelenggaraan pemerintahan, bisa memilah arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan bagaimana kita bersikap selaku masyarakat yang nantinya akan mengawal daerah kita, sehingga Bupati sebagai pimpinan daerah bukan tidak berpihak kepada rakyat, tetapi pada kenyataannya harus memilah dimana kapasitasnya sebagai penyelenggara negara atau sebagai bagian dari masyarakat yang ada di daerah ini, untuk arif dan bijaksana apabila melihat dari kacamata msyarakat terkait posisi seseorang, termauk tidak bisa menjudge seseorang dari cara pandang sendiri, tapi harus melihat dari keberadaannya.
Sementara disadari bahwa Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan wilayah yang tidak cukup luas, sehingga berdasarkan UU nomor 1 tahun 2014 terkait dengan Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luasan di bawah 2.000 km2, sehingga Kabupaten kepulauan Sangihe dengan luasan sebesar 736,98 Km2 merupakan wilayah pulau kecil yang tidak diprioritaskan sebagai lokasi pertambangan. Dan itu bisa menjadi pijakan dari rakyat Sangihe untuk bermohon kepada pemerintah pusat untuk bisa melakukan kajian dan peninjauan kembali terkait dengan izin pertambangan yang sudah keluar, sebaliknya dari Pemerintah Daerah tidak bisa langsung menyampaikan permohonan tersebut karena terbentur dengan adanya Peraturan Daerah nomor 4 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Artinya pemerintah daerah harus konsisten antara aturan yang dibuat dengan apa yang dilakukan. Jangan sampai ada benturan terkait dengan sikap Kepala Daerah dengan aturan perundang-undangan yang berlaku serta diterbitkan di daerah ini. Dimana dalam Peraturan Daerah nomor 4 Tahun 2014 dinyatakan bahwa wilayah selatan itu memang direkomendasikan sebagai wilayah pertambangan namun harus dilakukan secara selektif dan terbatas.
Begitu pula kalau merujuk dari sejarah pengelolaan tambang di Kabupaten Kepulauan Sangihe dari tahun 80-an, sudah ada penambang -penambang rakyat yang melakukan kegiatan pertambangan, sehingga dengan diterbitkannya Peraturan Daerah nomor 4 Tahun 2014 menjadi acuan bagi masyarakat yang melakukan pertambangan di wilayah yang telah ditentukan sebagai wilayah pertambangan, dalam catatan, itu harus dilakukan secara selektif dan terbatas, artinya fungsi pengelolaan lingkungan itu harus betul-betul dikawal secara komprehensif.
“Jadi dari sini dapatlah disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah, terlebih Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Ezar Gaghana, SE, ME tetaplah berpihak kepada masyarakat dan memikirkan kesejahteraan masyarakatnya, tetapi harus tetap mengikuti aturan perundang-undangan yang mengatur untuk keberlangsungan jalannya Pemerintahan yang baik di Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe yang kita cintai,” tutup Melanchaton. (Ryansengala)